Pendahuluan
Virginitas
terkonstruksi dalam realitas ruang dan waktu yang dinamis. Menstudikan dinamisasi
ide virginitas linear dengan kebutuhan merelasionalkan polifoni gagasan yang
berkembang. Ide virginitas tidak dikaji secara tunggal tetapi horizon ulasannya
memiliki mata rantai implikatif relasional. Prinsip relasional virginitas mengafirmasi
diskursus virginitas adalah isu problematis dan kompleks. Ide virginitas inheren dan integrasi dengan seksualitas tubuh perempuan. Artinya, menstudikan
virginitas secara teologis terintegrasi dengan seksualitas tubuh perempuan. Ulasan
seksualitas perempuan memberi pengayaan terhadap makna virginitas.
Dalam
konstruksi sosial, Hatib Abdul Kadir[1]
mengkategorikan dualisme seksualitas perempuan. Menurut Abdul Kadir,
seksualitas perempuan memiliki dua unsur pembeda paradoksal yakni sakral dan profan. Ide sakral, menjauhkan seksualitas dari segala bentuk
pelanggaran, pengacauan dan pencemaran. Seksualitas membutuhkan waktu dan
tempat secara legal. Kesakralan seksualitas dijalani dengan aktivitas ritus dan
makna religius. Ekspresi seksualitas dilegitimasi dalam lembaga pernikahan. Fungsi
seksualitas sakral adalah prokreasi. Domain sakralitas adalah patriarkis dan otoritas
agama. Kontras dengan seksualitas sakral, dimensi seksualitas profan sifatnya
biasa, tidak membutuhkan legitimasi dan tidak dikuduskan. Aktivitas seksualitas
profan tanpa ritus dan norma agama. Secara profan, seksualitas tidak mengenal
batasan waktu, tempat dan pendisiplinan tubuh. Prokreasi bukan tujuan primer. Nilai
dominan adalah hedonisme. Dimensi profan membenarkan pelacuran, homoseksualitas
maupun perselingkuhan.
Ide Abdul
Kadir memperjelas domain kajian makalah ini. Secara substansial, teologis virginitas
merujuk pada sisi sakralitas seksualitas. Penulis tidak mendikotomikan kedua
tipikal, sebaliknya mengeksplorasi interaksi simultan kedua tipikal. Alasannya,
dualisme seksualitas teridentifikasi dalam konteks Alkitab maupun konteks sosial
di era kini. Signifikansi virginitas di zaman alkitab dan zaman sekarang tak
bisa diabaikan. Dalam perspektif Alkitab, Allah memakai virginitas perempuan
sebagai alat prokreasi demi kontinuitas dunia. Kaum laki-laki dan Allah memiliki
independensi tinggi terhadap seksualitas tubuh perempuan. Mata rantai
relasionalnya adalah virginitas - prokreasi - kelangsungan hidup dunia. Sementara
di era kini, signifikansi virginitas perempuan terindikasi : pertama, dalam hukum perkosaan, para
perawan diberi kompensasi berbeda, kedua,
standar Ketubah (perjanjian perkawinan) seorang perawan memenuhi syarat bagi
pembayaran tunjangan cerai dua kali lebih besar dari yang bukan perawan,[2]
ketiga, nilai perempuan dalam budaya
tertentu distandarkan tinggi terkait kepemilikan virgintas.
Pentingnya
virginitas berimplikasi praktis yakni, kehilangan virginitas menjadi masalah
krusial bagi perempuan. Kehilangan virgintas heteroseksual umumnya ditandai dengan
lelehan darah pada sentuhan pertama hubungan seksualitas. Sementara lesbian
ditandai dengan melakukan oral dan anal seks pada alat kelamin.[3]Berarti,
tindakan verifikasi keperawanan perempuan secara medis berupa tes himonologi dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Secara konstras, operasi plastik menyambung hymen juga ditempuh perempuan untuk
mengembalikan virginitas. Tes verifikasi dan operasi virginitas adalah dua sisi
kontras yang mengindikasikan tingginya nilai virginitas perempuan. Beracuan
dari signifikansi virginitas di atas, penulis
tertarik mengkritisi virginitas dari perspektif teologi penciptaan relasional
sekaligus merelevansikan dalam konteks Indonesia.
Diskursus
Teologis tentang Virginitas
Debat
wacana virginitas perempuan dalam
Perjanjian Pertama mesti diulas secara objektif. Dalam lingkaran teologi
kontemporer[5] terpolarisasi
dua kutub pemikiran virginitas yakni: pertama,
pandangan bernada misoginis melihat virginitas sebagai objek dan kedua, ide yang memposisikan virgintas
sebagai subjek. Sebagai objek, virginitas berfungsi pasif dibawah kekuasan patriarkhi.
Subordinasi seksualitas dan kreativitas perempuan untuk virginal ideal dan
melanggengkan ide feminitas sebagai penerima pasif. Samuel Johnson[6]
penganut paham ini. Tulisannya di abad 18 menembusi pembaca abad 21 “merelasikan konsep virginitas dengan
legitimasi partrilineal”. Virginitas “simbol kesucian perempuan” sebagai jaminan
legitimasi patrilineal. Posisi subjek, virginitas adalah ungkapan positif dari
otonomi dan kekuasaan perempuan. Hanna Strack menteologiskan virginitas
perempuan sebagai co-creator Ilahi
dan patriarkhi.[7] Demonstrasi
kontradiktif nilai dan fungsi dari virginitas tergambar jelas.
Linear
dengan dikotomi virginitas, Corrinne Harol[8]
menspesifikasi relasi virginitas perempuan dalam tiga kategori yakni : pertama, virginitas dibingkai larangan inses, kedua, virginitas dari legitimasi
partrilineal dan ketiga, virginitas Katolik. Virginitas pertama dan kedua bersifat
aktif sementara virginitas ketiga bersifat pasif. Berfungsi aktif, virginitas
dialamatkan untuk laki-laki dan berfungsi prokreasi. Sebaliknya secara pasif, virginitas
dialienasikan dari kebutuhan prokreasi patriarkhi dan dikuduskan sebagai wujud
kesetiaan kepada Tuhan. Ketiga model ini sering dielaborasikan tetapi dalam
cara tertentu memiliki perbedaan khas.
Model pertama, virginitas
dibingkai larangan inses. Fungsi
virginitas pada ranah ini memfasilitasi perluasan hubungan sosial dan politik.
Dipromosikan perkawinan campur untuk memperluas jaringan hubungan ekonomi, sosial
dan politik. Dalam perspektif budaya primitif larangan inses bertujuan memperluas
sistem kerajaan. Virginitas adalah ajang penghubung antara individu sekaligus
basis membangun kekuatan masyarakat. Larangan inses menegaskan virginitas
adalah alat interaksi dengan dunia luar. Sisi buruk perkawinan inses adalah
keturunan cacat, karena hubungan darah dekat.[9]
Laporan Alkitab mencatat tindakan inses. Secara hukum, Imamat 18:6 - 16 memuat larangan
hubungan seksual rumpun keluarga dekat atau mertuanya (Ul. 27:23). Hukuman
akhir tindakan inses adalah kematian atau kutuk tidak memiliki anak (Imamat
20:21). Kisah pencemaran Tamar oleh saudara laki-lakinya Amon (2 Samuel
13:1-37) menunjukkan, insiden inses berkontribusi terhadap disfungsional
keluarga (keluarga Raja Daud).[10]
Model larangan inses mengcounter ide
reputasi virginitas perempuan sebagai properti ayah dan saudara laki-laki.
Model kedua, virginitas
dalam legitimasi patrilinel. Pada model ini, virginitas berkontribusi untuk
konsolidasi harta milik dan memperkuat pertalian keluarga inti. Model ini menjamin
legitimasi keturunan laki-laki. Tujuannya mempromosikan keturunan lineal dari
satu genetik laki-laki dengan harta milik riil.
Virginitas perempuan menjamin hak penerimaan nama dan warisan pewarisan
terhadap anak dari pihak laki-laki. Sebaliknya anak di luar nikah nafkah hidupnya
dibebankan kepada perempuan, di luar tanggung-jawab laki-laki.[11]
Harga perempuan ditentukan secara fungsional terkait penggunaan tubuh dan
seksualitas untuk prokreasi dan menjadi seorang ibu. Seksualitas tubuh
perempuan adalah properti suami.[12]
Sumber kitab suci sarat dengan narasi legitimasi patrilineal atas virginitas.
Kejadian 16:1-16 dan Kejadian 29:31-30:24 merujuk para peran utama perempuan
sebagai sarana reproduksi dan menyenangkan suami. Kej. 16:1-16 menarasikan Sarah
memberi Hagar kepada Abraham untuk melahirkan keturunan. Kej. 29:31-30:24 dikisahkan
Lea dan Rahel berlomba memberi keturunan sebanyak-banyaknya kepada Yakub.[13]
Berbeda dengan model pertama, reputasi virginitas perempuan dalam model kedua adalah
milik suami.
Model ketiga,
adalah representasi virginitas Katolik. Dalam model ini virginitas dikuduskan sebagai
bukti kesetiaan kepada Allah. Tradisi katolik tidak melibatkan virginitas dalam
realitas prokreasi, properti dan bergaul secara duniawi dengan laki-laki.
Sebaliknya, kekudusan virginitas dialamatkan kepada Allah. Orang yang menjalani
pengudusan virginitas disebut berselibat. Selibat merupakan bentuk pendisplinan
mengontrol tubuh manusia. Selibat bagian dari proses menjadi kudus, lengkap,
sempurna dan bersih.[14]
Karena itu, dalam tradisi Katolik kaum rohaniawan diwajibkan berselibat.
Hubungan seksualitas dianggap pantangan. Alkitab mencatat sejumlah tokoh
selibat diantaranya : Yeremia, Yesus, Paulus dan Maria. Yeremia seorang nabi
“perjaka” (kudus) dan figur nabi besar yang menjalani selibasi seumur hidup (Yer.
16:1-4). Selibasi Yeremia dipahami sebagai tindakan kenabian sejati.[15]
Yesus dan Paulus menjalani selibasi dalam tugas kenabian dan kerasulan. Sosok
Maria diagungkan dalam tradisi Katolik sebagai “Perawan Suci” yang menyerahkan
keperawanan untuk Tuhan dalam karya keselamatan dunia.
Ketiga
model virginitas terwakili secara teologis dalam Perjanjian Pertama. Secara
teologis, virginitas bagian dari
karya ciptaan Allah yang terintegrasi dalam diri perempuan. Allah menciptakan
perempuan dan menganugerahkan virginitas sebagai bagian keutuhan maupun kesucian
seksualitas perempuan.[16]
Peran subjek dan objek virginitas secara elaboratif tereksplorasi. Ulasan
teologi tentang virginitas Perjanjian Pertama terurai sebagai berikut:
a. Virginitas dalam Hukum Perkawinan
Virginitas
perempuan dalam tradisi Yahudi selalu merujuk pada legalitas hukum. Ulangan
22:13-30 adalah salah satu hukum yang merumuskan virginitas. Ulangan 22:13-30 menyajikan
seksualitas sebagai bagian integral aturan dan kontrol sosial. Keperawanan
perempuan merupakan syarat perkawinan. Kitab Ulangan ini menunjukkan pentingnya
virginitas perempuan pra-perkawinan. Hukum mengabsahkan, perempuan yang
meninggalkan rumah ayahnya untuk menikah haruslah “perawan”. Harga pengantin
perempuan tergantung pada keperawanan.Validitas perkawinan diletakkan pada
kebenaran status perkawinan seorang perempuan.
Hukum mengatur suami yang baru menikah dapat mengambil tindakan hukum
jika menemukan istrinya bukan seorang perawan.[17]
Istilah
“perawan” yang dipakai dalam Ulangan 22:13 – 30 adalah betulim. Istilah ini agak berbeda dari istilah yang lazim digunakan
betulah. Secara etimologi, istilah betulah merujuk pada “gadis remaja yang
muda”, karena itu tidak harus diartikan “perawan”. “Perawan” berarti seseorang yang tidak pernah
berhubungan seksual dengan laki-laki. Jika betulah
tidak merujuk pada “perawan”, maka tanda darah yang dihubungkan dengan betulah lebih diartikan “darah
mensturasi” daripada “sentuhan pertama hubungan seksualitas.” Itu alasannya
teks ini lebih memakai kata betulim untuk
menujukkan “keperawanan”. Istilah yang sama juga dipakai dalam Imamat 21:13-14 tentang
hukum perkawinan imam. Sementara perempuan “perawan” umumnya disebut dengan betulah..[18]
Beberapa
penafsir mengidentifikasi cara mengontrol seksualitas perempuan khusus “anak
perempuan yang belum menikah”. Kontrol seksualitas anak perempuan belum menikah
berada dibawah proteksi ayahnya (Ulangan 22:13 – 21, 29). Dalam ekonomi perkawinan ideal, keperawanan
tubuh dimonitoring, dievaluasi dan ditransfer. Keperawanan tubuh perempuan
menjadi komoditi yang diregulasikan dalam dunia pasar. Ada regulasi, perawan yang
telah ditiduri laki-laki wajib dibayar dengan 50 puluh syikal perak yang
dialamatkan kepada ayah sebagai penanggung-jawab. Dengan prasyarat perempuan
yang diperkosa dinikahi dan tidak boleh diceraikan. Signifikansi nilai moneter
perawan lebih tinggi dikonfirmasikan dengan hukum perkawinan.[19]
Kitab
Ulangan merelasikan keperawanan bagian dari seksualitas perempuan dengan aturan
relasi sosial. Teks menggambarkan seksualitas perempuan sebagai seksualitas introvert dan pasif, karena dibatasi hanya sebagai properti laki-laki dalam
lembaga perkawinan sah. Makna kontrol “seksualitas perempuan” diperluas hukum.
Kontrol sosial yang biasanya menjadi otoritas keluarga dan patriarkhi dialihkan
ke ruang publik “tua-tua kota”(Ul. 22:17). Ruang sosial secara luas menjadi
pengontrol atas “keperawanan perempuan”. Ruang publik bahkan diberi otoritas
memberi hukuman atas perempuan. Nilai keperawanan perempuan ditentukan oleh
keputusan masyarakat luas.[20]
b.
Virginitas
dalam Hukum Kekudusan.
Ide kitab Ulangan tentang “keperawanan” kontras dengan kitab
Imamat. Kitab Imamat menghubungkan keperawanan perempuan dengan “jabatan Imam”
(Imamat 21:3, 13-15). Seorang imam wajib
mempertahankan tingkat tertinggi kekudusannya dibanding masyarakat Israel
secara umum.[21] Salah
satu pemenuhan tuntutan hukum kekudusan adalah wajib “mengawini perawan”.
“Perawan” dalam kultus memiliki nilai kekudusan tinggi. Teks ini menyoroti
hubungan antara seksualitas dengan konsep biblika tentang kekudusan. Selibasi
tidak dikenal dalam tradisi Israel. Imam dalam fungsi agama diijinkan menjalani
perkawinan dan memiliki anak. Hukum merambui, kriteria istri yang dikawini
harus “perawan”.[22]
Jabatan imam adalah jabatan kudus yang mengatur peribadahan. Perkawinan dengan
perempuan yang notabene sudah hilang
keperawanan menandakan pencemaran jabatan suci. Keperawanan adalah simbol
kekudusan yang diposisikan dalam otoritas kultus.
Larangan hukum, seorang imam tidak diizinkan menikahi tiga
kategori perempuan yakni: pelacur, janda dan perempuan yang sudah dewasa. a) Larangan
menikahi “pelacur” menunjukkan moralitas
budaya Israel adalah mencela prostitusi. b) Larangan menikahi janda agak
problematik. Dalam sistem semitik “hukum biblika”, seorang suami dapat menceraikan
istri sekehendak hatinya. Alasan cerai tidak selamanya merujuk pada kesalahan
seksualitas. Apapun latar perceraiannya,
kode hukum kekudusan menganggap Imam tidak pantas mengawini janda. Imam adalah subjek
utama dalam kultus mesti menjaga kekudusan. Selain itu, alasannya perkawinan seperti
akan merusak keturunan imam di masa datang (Im. 21:15). c) Larangan perempuan
yang dewasa adalah bentuk keraguan terhadap “keperawanan perempuan” ini.[23]
Masyarakat mengakui bahwa fungsi seksual ketiga kelas perempuan bukan untuk dimiliki
laki-laki, tetapi sekedar pemuas kesenangan.[24]
Rasionalisasinya, ketiga kategori perempuan adalah representasi perempuan telah
hilang keperawanan.[25]
c.
Metafor
Politisasi Tubuh Virgin.
Mengafirmasi ide kitab Ulangan, Yeheskiel 16:8 dan Hosea 1:2
menampilkan metafora politik istri
berzinah atau perempuan sundal untuk
mengilustrasikan ketidaksetiaan Israel kepada Tuhan Allah. Kedua teks menerapkan
secara imajinatif perawan sebagai tubuh politik. Keperawanan dipolitisir secara
metaforik untuk menggambarkan relasi Allah dan manusia. Gambaran Israel sebagai
perawan memiliki konotasi negatif dan positif. Metafora Hosea menyatakan figur
Allah adalah representasi “laki-laki setia” dan “perempuan” lambang umat Allah tidak
setia. Kitab Hosea menonjolkan sisi negatif peran perempuan sebagai pihak yang
tidak setia.[26]Aksentuansi
metaforik keperawanan perempuan dimaknai sebagai bentuk kesetiaan.
Merujuk Yeheskiel 16:8, ditemukan pola konsisten bahwa pandangan
Yahwe sebagai “laki-laki” terfokus pada tubuh dan kecantikan “perempuan” yakni
Israel. Secara tipikal subjek yang melihat adalah laki-laki, perempuan adalah
objek yang dilihat. Secara metaforik, tubuh perempuan dipolitisir sebagai objek
pandangan laki-laki yakni objek pandangan Ilahi.[27]
Seluruh kitab suci Yahudi berulang-ulang menyebut Israel sebagai “anak dara-putri
Sion” dan “dara Israel” (Yes. 37:22, 2 Raj. 19:21). Keduanya menegaskan
hubungan Israel dan Tuhan. Israel adalah “anak dara Allah”. Dinyatakan Allah
mendengar doa Israel dan bertindak melindungi anak dara-Nya bahkan membela dari
musuh. Secara umum, Israel sebagai metafora perempuan diharapkan membangun
kesetiaan kepada Allah.[28]
Multi gagasan di atas menegaskan, keperawanan perempuan sangat penting dalam
catatan kitab suci.
Virginitas
dalam Kajian Teologi Penciptaan Relasional
Menurut
Terence Fretheim,[29]
penciptaan relasional dimaknai dalam tiga prinsip yakni: pertama, awal penciptaan, kedua,
kelanjutan penciptaan, dan ketiga, kelengkapan
Penciptaan. Kejadian 1 dan 2 adalah
model penciptaan. Penciptaan tidak mencapai finalisasi di masa lampau (Kej. 1 –
2) tetapi berlangsung terus di masa depan. Teologi penciptaan merujuk pada
proses berkelanjutan ongoing creation
dan proses pemeliharaan secara inovatif. Dalam karya mencipta Allah membangun
relasi setara dengan manusia maupun non-manusia untuk proses penciptaan. Allah mencipta dengan cara baru dan menghasilkan
formula baru sebagai wujud kreativitas penciptaan. Karakteristik penciptaan
relasional adalah : a) tidak terpediksi, b) ada konsensus bersama, c) tidak
mengingkari masa lalu, d) mengakui pluralitas, e) bersifat relasional dan f) seluruh
makhluk dilibatkan dalam proses penciptaan. Prinsip penciptaan relasional ini
menjadi lensa penulis memaknai virginitas perempuan.
Hakikat
virginitas perempuan dilihat dalam
perspektif ilahi. Virginitas sebagai bagian seksualitas perempuan diciptakan
Tuhan “baik” dan “indah” menurut karakter ilahi. Hope S. Antone mengafirmasi, virginitas
adalah bagian dari karya ciptaan Allah (Kej. 1:26, 27). Cerita penciptaan
menunjukkan, viginitas perempuan merupakan karakterisik dasar indentitas
kemanusiaan sebagai “Gambar Allah”. Allah berintervensi menggunakan dan
memberkati virginitas perempuan untuk tujuan lebih besar dan luas (Kej. 4:1).[30]
Intinya, Allah “Pencipta dan Pemberi virginitas”, Allah juga “memberkati dan
menggunakan virginitas” demi kontinuitas dunia. Allah memberi dan melimpahkan
afinitas kepada virginitas perempuan untuk berprokreasi. Perempuan dalam peran
sebagai procreator diposisikan
sebagai co-creator Allah dan
patiarkhi. Artinya virginitas perempuan memiliki otoritas dan otonom mulia bagi
kelangsungan hidup dunia.
Dalam
perspektif penciptaan relasional, Fretheim[31]mengajukan
hikmat perempuan dalam karya penciptaan. Kitab Amsal mengimajinasi hikmat
sebagai perempuan. Hikmat perempuan digambarkan secara mencolok. Sesuatu yang
tidak lazim dalam struktur patriarkhi Israel. Imajinasi hikmat sebagai
perempuan, artinya hikmat dikarakteristikkan seperti perempuan. Hikmat
perempuan dicirikan sejajar dengan peran perempuan Israel dalam keluarga maupun
peran sosial. Peran dan partisipasi perempuan secara sosial dan kultur
merupakan unsur esensial bagaimana hikmat dikarateristikkan. Gambaran “Istri
yang cakap” dalam Amsal 31:10-31 adalah salah satu perwujudan tertinggi hikmat.
Peran perempuan secara domestik dan sosial dipahami sebagai wujud hikmat. Nilai
dan kualitas perempuan negatif atau positif direlasikan dengan hikmat. Perempuan
memiliki hikmat disebut bijaksana (Amsal 1:20-33; 8:1-9:6) dan perempuan tidak
berhikmat diberi predikat bodoh (Amsal 9:13 – 18).
Petunjuk lain tentang dimensi
perempuan dari Amsal 8:22-31 dibuktikan dengan bahasa melahirkan. Kata
“menciptakan” (qanani) diterjemahkan
sebagai “memperanakkan” atau “memperoleh”. Biasanya bahasa “melahirkan” dalam
ayat 24-24 (lih. Ul. 32:18) menjelaskan tentang imajinasi Allah yang melahirkan.
Imajinasi Allah sebagai “Ibu”, melahirkan dengan hikmat (kata kerja qanani juga digunakan ketika Hawa
melahirkan Kain dalam Kej. 4:1 dan dialamatkan kepada Allah dalam Kej. 14:19,
22). Bahasa melahirkan digunakan hanya untuk hikmat dan tidak dialamatkan
kepada ciptaan lain. Itu mengindikasikan hubungan hikmat dengan Allah terbangun
unik. Imajinasi Allah menciptakan hikmat diparalelkan dengan tindakan perempuan
untuk melahirkan. Bahasa metaforik ini menegaskan, hikmat perempuan memiliki potensi melahirkan sebagai bagian proses
ongoing creation (penciptaan
berkelanjutan). Hikmat melanjutkan peran penciptaan dengan melahirkan kehidupan
baru dalam komunitas manusia (bnd. Amsal 4:13, 4:22-23, 8:35, 16:22). Allah
membangun relasi dengan “hikmat” sejajar untuk kontinuitas ciptaan. Intinya peran
hikmat perempuan adalah co-creator dengan
Allah.[32]
Hanna Strack[33]
menyatakan proses penciptaan kreatif terkonstruksi lewat virginitas perempuan. Kekudusan,
kehidupan baru dan kematian bertempat pada tubuh manusia. Fungsi perempuan sebagai co-creator diakui sebagai perjumpaan Ilahi. Merujuk pada peran co-creator Hanna Strack[34]
menguraikan beberapa karakteristik sebagai berikut: Pertama, perempuan sebagai co-creator
adalah pengalaman luar biasa. Perempuan diakui sebagai pribadi yang sangat
kuat. Perempuan menggunakan seluruh kekuatan fisik dan penderitaan untuk
menggerakkan seorang anak keluar dari tubuhnya sehingga lahir kehidupan baru.
Seorang anak melewati dunia kegelapan pada “rahim” menuju terang pada dunia
kehidupan. Pengalaman luar biasa seorang perempuan adalah berjuang dan menderita
bersalin. Pengalaman penderitaan kemudian berganti dengan “tarikan nafas dalam”
dan “momen kebahagiaan” karena terlihat kehidupan baru. Pengalaman laki-laki
terbatas pada emosi tetapi pengalaman perempuan jauh lebih luar biasa yakni
perjuangan hidup dan mati demi sebuah kehidupan baru.
Kedua, perempuan
sebagai co-creator mengalami mujizat
kehidupan baru. Kekuatan kreatif perempuan sebagai co-creator memberi kehidupan baru. Mujizat bertempat pada tubuh perempuan yakni
mujizat kehidupan itu sendiri. Kelahiran seorang anak bukan semata andil
tindakan manusia, tetapi direlasikan dengan peran laki-laki dan intervensi
Allah. Pengalaman ajaib yang dijalani bagian dari interkoneksi dengan kuasa Allah dan peran manusia. Pengalaman
mujizat tidak eksklusif diklaim milik perempuan tetapi diteruskan kepada anak yang
lahir. Allah bekerja bersama laki-laki dan Allah sehingga ada mujizat kehidupan
baru.
Ketiga,
perempuan
sebagai co-creator menjalani
“kesunyian”. Menjalani tindakan prokreasi, perempuan meninggalkan suami dan
anak-anak untuk berjuang sendiri. Ketika momen ini, perempuan keluar dari ritme
hidup setiap hari, dituntut untuk hening dan diam. Dalam pengalaman diam
seorang perempuan memiliki kekuatan untuk menjalani proses perjuangan dimaksud.
Pengalaman diam sebagai bentuk respons terhadap kehadiran Allah. Kekuatan diam adalah
mempengaruhi emosi perempuan. Transformasi suasana dan perubahan horizon
pemahaman bahwa kuasa kekudusan termanifestasi dalam keheningan. Dalam
“keheningan” terjadi perjumpaan dengan Allah yang memberi kekuatan berjuang
demi kehidupan.
Karakteristik di atas
membuktikan signifikansi peran perempuan sebagai co-creator. Secara substansial virginitas perempuan difungsikan
sebagai prokreator dalam tiga pilar
yakni waktu, kualitas dan universal. Berdasarkan waktu, fungsi virginitas
sebagai prokreator untuk kelangsungan
hidup masa kini dan futuristik. Sebagai prokreator,
virginitas perempuan dipakai untuk memenuhi kuantitas dan kualitas unggul
keturunan. Sisi universalitas, fungsi prokreator
dibingkai dalam kebutuhan manusia dan dunia secara universal. Ide co-creator perempuan mendekonstruksi
pandangan patriarkhi yang cenderung mengobjekkan virginitas perempuan. Virginitas
perempuan tidak pasif dan subordinasi dari legitimasi patrilineal. Sebaliknya bersifat
aktif karena independensi Allah dan patriarkhi tinggi terhadap virginitas
perempuan.
Relevansi
Teologi Virginitas Perempuan dalam Konteks Indonesia
Mengkomunikasikan
konsep “virginitas” dalam konteks Indonesia mesti direlasikan dengan cara
pandang dan perilaku seksual perempuan umumnya. Kajian relevansi ini beracuan
dari ide Abdul Kadir tentang dualisme sakralitas yakni sakral dan profan seksualitas.
Secara umum pandangan masyarakat Indonesia cenderung terfokus pada tipikal
seksualitas sakral. Dalam konteks Indonesia seksualitas dianggap kudus, mulia
dan wajib diaktualisasikan dalam lembaga pernikahan sah. Harapan ideal ini
kontras dengan realitas masyarakat Indonesia yang menggandrungi dimensi profan
seksualitas. Wacana ideal adalah sakral sementara realita praksis justru profan.
Ketegangan dua tipikal seksualitas ini teridentifikasi dalam realitas
masyarakat Indonesia. Nilai dan makna seksualitas yang sakral tidak terwujud
dalam realitas praksis. Logikanya, virginitas sebagai “anugerah Ilahi yang
kudus” dalam perspektif agama tidak teraktualisasi secara baik dalam realita
sosial. Dalam konteks Indonesia perilaku seks bebas sebagai indikasi “cemarnya
virginitas” merupakan fenomen sosial yang kompleks. Realita objektif yang mesti
dipertanyakan sebab dan akibatnya.
Indonesia secara faktual
mengalami perkembangan intensif dan pengaruh globalisasi tak terelakkan. Perubahan
sosial masyarakat termasuk sikap terhadap seks bagian dari perkembangan sosial.
Stephanie Creagh[35] dalam
studi lapangan di Yogyakarta mengulas realitas seks bebas secara objektif.
Kompleksitas latar masalah seks bebas perlu diajukan sebagai bahan kajian. Seks
dalam budaya Jawa adalah hidden culture (budaya
tersembunyi), konsekuensinya tindakan pelanggaran seksual ditutupi dari
masyarakat. Budaya pembisuan kontras dengan masih eksisnya industri seks di
Yogyakarta seperti daerah prostitusi daerah Kembang. Fakta lain terindikasi perubahan
perilaku seksual masyarakat Indonesia yang menggandrungi hubungan seks pra-nikah.
Koran Tempo[36] melaporkan
hasil survei Koordinator Kesehatan Reproduksi Jaringan Epidemologi “Profesor
Charles Suryadi”, 15% dari 2.224 mahasiwa di sepuluh Perguruan Tinggi Negeri
dan Swasta melakukan hubungan seks pra-nikah. Sementara hasil survei Demografi
Kesehatan Indonesia mencatat, tingkat kehamilan yang tak direncanakan meningkat
cukup tinggi, angkanya mencapai 22% dari seluruh kehamilan. Itu membuktikan
angka perilaku seks bebas cukup marak diminati. Jumlah pelaku seks pra-nikah di
tahun 2013 semakin meningkat bahkan sekarang anak usia remaja menggandrungi
perilaku ini.
Fenomena
seks bebas berbasis pada titik-titik wilayah tertentu. Setidaknya tercatat
empat titik basis seks bebas yang teridentifikasi dalam ruang sosial, yakni : Pertama, daerah kota. Seks bebas di kalangan
masyarakat urban dianggap lumrah. Fenomena seks bebas banyak ditemukan pada
ruang privat seperti kost-kostan mahasiwa atau karyawan, apartemen, hingga
ruang publik seperti kafe dan bioskop. Kalangan urban menjadi basis dilatari
karena aksesibilitas dan mobilitas dalam berinteraksi dinilai tinggi. Alasan
lain, kaburnya konsep ruang privat dan publik bagi kaum urban. Ruang publik
sekarang cenderung dipakai untuk aktivitas privasi misalnya berciuman dan berpelukan
di kafe, bioskop, dan ruang umum yang sejenis.[37]
Merujuk pada kumpulan laporan penelitian tajuk media massa ditemukan tiga
kawasan kota, yakni :
- Jakarta
Hasil
survei yang dilakukan Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul binaan Blok M Yayasan
Pelita Ilmu menyebutkan, dari 117 responden remaja berusia antara 13-20 tahun 40%
telah melakukan hubungan seksual dan 52% sementara menjalani perilaku seks
pra-nikah. Bagi mereka yang masih menjalani seks pra-nikah umumnya berprofesi
sebagai penjaja om-om senang termasuk
siapa saja yang memberi imbalan. Responden paling banyak adalah remaja yang broken home yang cenderung singgah di
tempat gaul ini. Sekitar 60% dari mereka berjenis kelamin perempuan yang
berlatar belakang kalangan menengah ke atas dan berdomisili di Jakarta.[38]
- Bandung
Sebuah
lembaga yang menyelidiki perilaku seks bebas di Bandung adalah Lembaga
Konseling Mitra Citra Remaja (MCR – PKBI) Jawa Barat. Lembaga ini mencatat,
pada tahun 2002 terdapat 104 kasus hubungan seks pra-nikah di kalangan remaja
dan tahun 2003 melonjak hingga 170 kasus. Tempat yang paling sering menjadi
ajang hubungan seks bebas adalah tempat kost atau di rumah. Alasan perilaku
seks bebas beragam. Alasan responden diklasifikasi dalam sembilan kategori.
Alasan dominan adalah keinginan menyalurkan hasrat seksual sebesar 57,89%. Disusul
alasan tanda ungkapan cinta (38,42%), terpaksa atau dipaksa pacar (27,37%), biar
dianggap modern (20,53%) dan alasan imbalan sekitar 10%. Tiga faktor yang
menyumbang seksual pra-nikah adalah pengeruh trend (24,74%), tekanan dari
lingkungan (18,42%) dan masalah ekonomi.[39]
- Yogyakarta
Penelitian
yang dilakukan PKBI D. I. Yogyakarta pada tahun 2004 ditujukan kepada remaja
SMP di Yogyakarta. Hadil penelitian terungkap dari 187 responden, anak usia SMP
tinggal di perkotaan dan pedesaan di DIY dengan proporsi 80 orang laki-laki dan
107 orang perempuan. Teridentifikasi 47 orang pernah berpelukan, 30 orang
pernah melakukan gandengan tangan dengan lawan jenis, 52 orang pernah berpelukan,
30 orang pernah berciuman pipi, 18 orang pernah meraba-raba bagian tubuh, 16
orang pernah melakukan petting (mendekatkan
alat kelamin tanpa hubungan seks) dan 8 orang pernah melakukan hubungan seks. Sedangkan
daerah pedesaan Yogyakarta dilaporkan, 36 orang pernah bergandengan tangan, 38
orang berpelukan, 22 orang berciuman pipi dan 16 orang berciuman bibir, 6 orang
meraba-raba tubuh, 3 orang petting dan
satu orang berhubungan seks.[40]
Kedua,
kegiatan seks dapat ditemukan di daerah-daerah terisolir Indonesia seperti
pertambangan minyak lepas pantai. Ketiga,
daerah tujuan wisata. Keempat, seks
bebas juga ditemukan di daerah pedesaan dan pedalaman. Daerah pedesaan dilatari
penataan kamar yang tak bersekat, pesta adat dan longgarnya aturan adat
menghukum pelaku.[41]
Kompleksitas
fenomena seks bebas teridentifikasi dari deskripsi di atas. Visi teologi
diharapkan berkontribusi memaknai realitas ini. Beragam alasan penyebab
diajukan secara gamblang. Terbangun kesenjangan antara dunia ideal dan realitas
praksis. Kesenjangan ini perlu dijembatani setidaknya untuk saling berkontribusi
secara egaliter. Dengan tetap menghargai alasan sosial-budaya, menurut penulis
perilaku seks pra-nikah sebagai bukti “cemarnya keperawanan” karena tidak
melekat kesadaran tentang “virginitas” (seksualitas) sebagai anugerah Allah
yang diberi kepada manusia dengan tujuan dan maksud mulia. Penulis memaknai
realitas ini dari dimensi sakral seksualitas. Kebebasan memanfaatkan
“virginitas” secara positif maupun negatif, aktif maupun pasif, subjek maupun
objek ditentukan oleh pribadi yang dianugerahi berkat terindah tersebut.
Teologi penciptaan relasional
mengaksentuasikan virginitas perempuan adalah co-creator bersama Allah dan dipakai untuk berprokreasi. Allah dan
patriakhi memberi pelimpahan istimewa kepada perempuan untuk menjalani ongoing creation. Nilai dan harga
viginitas perempuan tinggi di hadapan Allah maupun dunia patriarkhi. Virginitas
perempuan dipakai untuk karya penciptaan kreatif yang diawali, dilanjutkan dan
dilengkapi dalam sejarah dunia. Setiap perempuan mesti menyadari dan menghargai
identitas istimewa dirinya sehingga apapun bentuk aktivitas seksual diharapkan tertanggung-jawab
kepada Allah, masyarakat, keluarga dan dirinya sendiri.
Penutup
Demikian makalah yang dapat disajikan.
Nilai virginitas dalam perspektif teologi penciptaan relasional kiranya
berkontribusi memperkaya wawasan berteologi. Virginitas mempunyai nilai jika
dibangun dalam tujuan mulia Tuhan dan diaktualisasikan pada waktu dan ruang tepat.
Visi berprokreasi diamanatkan kepada perempuan sebagai suatu pengalaman Ilahi.
Perempuan, laki-laki dan Allah berinterkoneksi
untuk membangun karya penciptaan secara kreatif. Dalam peran relasional proses
mencipta, memelihara dan berinovasi terbangun semangat melengkapi karya ciptaan
untuk kemuliaan Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
Becher, Jeanne, Perempuan Agama dan Seksualitas – Studi
tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama
terhadap Perempuan, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2002.
Biale, Rachel, Women and Jewish Law – The Essential Texts,
Their History & Their Relevance for
Today, New York : Shocken Books, 1995.
Carpenter, Laura M, Virginity Lost, New York : New York
University, 2005.
Creagh,
Stephanie, Pendidikan Seks di SMA D.I.
Yogyakarta, Yogyakarta : Australian Consortium For In Country Indonesian
Studies, 2004.
Fosket, Mary F, A Virgin Conceived, USA : Indiana University Press, 2000.
Harol,
Corrinne, Enlightened Virginity in
Eighteenth Century Literature, USA :
Palgrave Macmillan, 2006.
Newson, Carol
A. & Ringe, Sharon H. (Ed), The
Women’s Bible Commentary, Louisville : Jhon Knox Press, 1992.
Kadir, Hatib Abdul, Tangan Kuasa dalam Kelamin, Yogyakarta :
INSIST Press, 2007.
Kelly, Kathleen
Coyne, Performing Virginity and Testing
Chastity in The Middle Ages, London: Routledge, 2000.
Legrand, Lucien, The Biblical Doctrine of Virginity, London : Geoffrey Chapman,
1963.
Terence,
Fretheim, E, God and World in the Old
Testament – A Relational Theology of Creation, Nashville : Abingdon
Press, 2005.
Olson, Carl, Celibacy and Religion Tradition, New York : Oxford University
Press, 2008.
Artikel
Hanna Strack,
“Woman as Co-creator with the Holy : Towards a Theology of Childbirth”, dalam In God’s
Image - Journal of Asian Woman
Resource Centre for Culture and Theology” Vol. 28. No. 2, Ed. By. Ann
Wansbrough dkk, Yogyakarta : AWRC,
2009.
Orevillo-Montenegro,
Muriel,”Close Family Ties and Incest”, dalam In God’s Image - Journal of
Asian Woman Resource Centre for Culture and Theology” Vol. 25. No. 2, Ed.
By. Ann Wansbrough dkk, Yogyakarta :
AWRC, 2006.
Antone, Hope
S., “Asian Women and Christianity, dalam In
God’s Image - Journal of Asian Woman
Resource Centre for Culture and Theology” Vol. 25. No. 2, Ed. By. Ann
Wansbrough dkk, Yogyakarta : AWRC,
2006.
Merentek-Abram,
Sientje, “Beberapa Catatan Mengenai Penafsiran Alkitab dari Perspektif Perempuan”, dalam Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Ed. By. Stephen Suleeman &
Bendalina Souk, Jakarta : Persetia, 1997.
Koran
Media Indonesia, selasa, tanggal
11 Januari 2005.
Kompas, Dari 117 Responden, 42 Persen Remaja
Bermasalah Pernah Berhubungan Seks, Kamis 9 Maret 2000.
Tempo
Interaktif, Free Sex Remaja Bandung
Mengkhawatirkan, dalam pada tanggal 13 Juni 2004.
[1]
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam
Kelamin, (Yogyakarta : INSIST Press, 2007), h. 21 – 24.
[2] Jeanne Becher, Perempuan Agama dan Seksualitas – Studi tentang
Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadah Perempuan,(Jakarta : BPK Gunung
Mulia, 2002), h. 53.
[3]
Laura M. Carhenter, Virginity Lost,
(New York : New York University, 2005), h. 1.
[4] Kathleen Coyne Kelly, Performing Virginity and Testing Chastity
in The Middle Ages, (London :
Routledge, 2000), h. ix.
[5]
Mary F. Fosket, A Virgin Conceived,
(USA : Indiana University Press, 2002), h. 2.
[6] Corrinne Harol, Enlightened Virginity in Eighteenth Century Literature, (USA : Palgrave
Macmillan, 2006), h. 1.
[7] Hanna Strack, “Woman as
Co-creator with the Holy : Towards a Theology of Childbirth”, dalam In God’s Image - Journal of Asian Woman Resource Centre for Culture
and Theology” Vol. 28. No. 2, Ed. By. Ann Wansbrough dkk, (Yogyakarta : AWRC, 2009), h. 40.
[8]
Corrinne Harol, Enlightened Virginity in
Eighteenth Century Literature, h. 1
– 5.
[11]
Corrinne Harol, Enlightened Virginity in
Eighteenth Century Literature, h. 1.
[12] Hope S. Antone, “Asian
Women and Christianity, dalam In God’s
Image - Journal of Asian Woman
Resource Centre for Culture and Theology” Vol. 25. No. 2, Ed. By. Ann
Wansbrough dkk, (Yogyakarta : AWRC,
2006), h. 29.
[13]Sientje Merentek-Abram,
“Beberapa Catatan Mengenai Penafsiran Alkitab dari Perspektif Perempuan”, dalam
Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Ed. By.
Stehhen Suleeman & Bendalina Souk, (Jakarta : Persetia, 1997), h. 183.
[14]
Carl Olson, Celibacy and Religion
Tradition, (New York : Oxford University Press, 2008), h. 5
[16]Jeanne Becher, Perempuan Agama dan Seksualitas–Studi
tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadap Perempuan, h. 53.
[17]
Mary F. Fosket, A Virgin Conceived,
h. 44-47.
[18] Carol A. Newson & Sharon H. Ringe (Ed), The Women’s Bible Commentary,
(Louisville : Jhon Knox Press, 1992), h. 56.
[19]
Mary F. Fosket, A Virgin Conceived,,
h. 49
[20] Rachel Biale, Women and Jewish Law–The Essential Texts,
Their History & Their Relevance for Today, (New York : Shocken Books,
1995), h. 122.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid.
[25]Jeanne Becher, Perempuan Agama dan Seksualitas–Studi
tentang Pengaruh Berbagai Ajaran Agama terhadap Perempuan, h. 53.
[26]
Mary F. Fosket, A Virgin Conceived,
h. 55.
[27]
Ibid, h. 56.
[28]
Ibid.
[29]Fretheim, E.Terence, God and World in the Old Testament – A
Relational Theology of Creation, (Nashville : Abingdon Hress, 2005), h. 5 –
9.
[30]Hope S. Antone, “Asian
Women and Christianity, dalam In God’s
Image - Journal of Asian Woman
Resource Centre for Culture and Theology” Vol. 25. No. 2, Ed. By. Ann
Wansbrough dkk, h. 30 – 31.
[31]
Fretheim, E.Terence, God and World in the
Old Testament – A Relational Theology of Creation, h. 208 – 210.
[32]
Ibid, h. 210 – 213.
[33]Hanna Strack, “Woman as
Co-creator with the Holy : Towards a Theology of Childbirth”, dalam In God’s Image - Journal of Asian Woman Resource Centre for Culture
and Theology” Vol. 28. No. 2, Ed. By. Ann Wansbrough dkk, h. 40 - 41
[34] Ibid.
[35]Stephanie Creagh, Pendidikan Seks di SMA D.I. Yogyakarta,
(Yogyakarta : Australian Consortium For In Country Indonesian Studies, 2004),
h. 8.
[36]Tempo,
Pendidikan Tak Cukup Cegah Seks Bebas,
tanggal 24 April 2007.
[37]
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam
Kelamin, h. 215 – 217.
[38]Kompas, Dari 117 Responden, 42 Persen Remaja
Bermasalah Pernah Berhubungan Seks, Kamis 9 Maret 2000.
[39]Tempo Interaktif, Free Sex Remaja Bandung Mengkhawatirkan, tanggal
13 Juni 2004.
[40]
Media Indonesia, selasa tanggal 11 Januari 2005.
[41]
Hatib Abdul Kadir, Tangan Kuasa dalam
Kelamin, h. 223-224.